Warisan Negara untuk Rakyat Indonesia

Agustus 2002

Apa warisan yang akan diberikan pemerintah kepada anak cucu kita? Tak ada kata lain kecuali: utang. Ketika krisis belum menimpa kita, utang luar negeri pemerintah sudah cukup besar. Ketika krisis ekonomi menerpa, utang bukan lagi besar, tetapi menggunung, apalagi utang itu berupa dolar, sehingga total rupiahnya menjadi sangat besar. Belum lagi utang dalam negeri.

Posisi keuangan negara kita saat ini sudah besar pasak daripada tiang. Mengapa? Karena jumlah utang negara sudah melebihi produk domestik bruto (PDB), sekitar 101 persen. Itu artinya, produk yang dihasilkan di negara tercinta ini tidak cukup untuk membayar utang negara.

Data tiga tahun lalu menunjukkan bahwa utang luar negeri kita mencapai 146 miliar dolar AS di mana 45 persen adalah utang pemerintah. Pada saat yang sama, utang dalam negeri --yang sebelumnya nyaris tidak pernah dilakukan-- mencapai Rp 650 triliun. Dengan begitu, saat ini total utang dalam rupiah mencapai Rp 2.100 triliun.

Dengan total utang asing 146 miliar dolar AS tersebut berarti Indonesia menempati urutan kelima sebagai pengutang terbesar di bawah Brasil (232 miliar dolar), Rusia (183 miliar dolar), Meksiko (159 miliar dolar), dan Cina (154 miliar dolar). Bedanya, negara-negara tersebut mempunyai PDB yang besar sehingga rasio utangnya rata-rata di bawah 50 persen PDB.

Siapa yang menciptakan utang tersebut? Menurut pengamat ekonomi Revrisond Baswir, adalah mereka yang memegang pemerintahan, alias rezim. Jadi rezim Soeharto, rezim Habibie, rezim Gus Dur, dan rezim Megawati yang telah menggelembungkan utang. Tetapi celakanya, rakyat juga yang harus menangggungnya.

Rakyat miskin di Kalimantan Barat sana, rakyat miskin di NTT sana, rakyat miskin di Papua sana, bahkan juga rakyat miskin di Jakarta (Anda tahu, ketika sebagian orang bersuka cita meramaikan tujuhbelasan ada seorang pria dewasa yang mati karena kelaparan di Tanjung Priok), tidak bersalah apa-apa. Tetapi, mereka harus menanggung kesengsaraan yang diakibatkan oleh rezim korup yang gemar berutang.

Dana negara yang semestinya untuk mengentaskan kemiskinan, harus dilarikan untuk membayar utang. Kita lihat saja dalam RAPBN 2003, dari total pengeluaran Rp 354,1 triliun, untuk membayar bunga utang Rp 80,9 triliun dan pembayaran cicilan pokok utang luar negeri Rp 16,7 triliun. Demi utang pula, subsidi BBM akan dicabut sehingga kesengsaraan mereka makin sempurna.

Rezim itu sendiri tidak akan menanggung derita atas utang yang dibuat. Bahkan mereka menikmatinya. Misalnya, tur Megawati ke berbagai belahan dunia selama setahun pemerintahannya. Menurut penelusuran Perhimpunan Indonesia Baru, biaya perjalanan itu menghabiskan Rp 205 miliar! Hasilnya? Nol.

Pada masa lalu menurut Bank Dunia, volume utang luar negeri yang diselewengkan rezim Soeharto mencapai 30 persen. Tetapi, diyakini bahwa persentase tersebut masih terlampau kecil karena kenyataannya bisa separuhnya. Dan rezim sekarang, penggerogotan uang pinjaman bukan terus berkurang, sekali pun sudah ada reformasi.

Selama ini untuk mengatasi beratnya pembayaran utang tersebut, pemerintah melakukan penjadwalan utang. Pada Paris Club II disetujui 0,7 miliar dolar, kemudian Paris Club III April silam 5,0 miliar dolar dengan jangka 10 sampai 30 tahun. Siapa yang membayar? Ya, siapa lagi kalau bukan anak cucu kita.

Memang, ada upaya lain yang dilakukan, tetapi bukan oleh menteri perekonomian, melainkan menteri agama. Ceritanya, berdasarkan ramalan paranormal, di situs Batutulis, Bogor terdapat harta karun yang nilainya cukup untuk membayar semua utang pemerintah. Maka menteri agama tanpa malu-malu bergegas menggali situs tersebut dan berharap ramalan klenik itu benar.

Kasihan anak cucu kita. Sudah diwarisi utang yang sedemikian besar, masih pula diwarisi budaya klenik dalam menyelesaikan masalah bangsa.

No comments:

Post a Comment