Saya Tidak Takut Dibunuh

Wawancara dengan Fred Burks, Saksi Kasus Abu Bakar Ba’asyir

Sabtu, 15 Jan 2005 Jawapos

FREDERICK Black Burks -atau Fred Burks seperti yang tertera dalam kartu namanya- menjadi terkenal tiba-tiba. Bujangan kelahiran New Jersey, Amerika Serikat, 20 Februari 1958 itu tampil di panggung pengadilan Ustadz Abu Bakar Ba’asyir yang mendapat sorotan luas.

Terlebih, kesaksian mantan penerjemah Deplu AS tersebut sangat menyudutkan negaranya, Amerika Serikat. Sebab, dia menyebut Bush minta Presiden Megawati mengirim Ustadz Abu Bakar Ba’asyir ke Amerika. Megawati menolak permintaan itu.

Kini banyak orang ingin tahu sosok Burks. "Ya, saya kebajiran undangan. Tapi, Senin besok saya sudah balik ke California," aku Burks saat diwawancarai Jawa Pos secara khusus di Universitas Paramadina kemarin.

Burks sangat fasih berbahasa Indonesia. Dia memang sudah menjadi intepreter di Deplu AS sejak 1986. Pada 1995, Burks naik pangkat menjadi interpreter top di Gedung Putih. Dia pun dipercaya mendampingi pertemuan tingkat tinggi Presiden Bill Clinton dengan para tamunya, khususnya dari Indonesia. Burks pernah mendampingi presiden Amerika saat menerima Presiden Soeharto, Presiden Habibie, dan Presiden Megawati.......

Dia memutuskan keluar dari Gedung Putih pada November 2004 karena ada aturan baru yang melarang penerjemah membuka isi pembicaraan pejabat Amerika dengan tamunya. Setelah itu, Burks dan jaringannya mengerjakan riset yang berusaha membongkar jaringan elite penguasa Amerika yang merekayasa berbagai kejadian di seluruh dunia.

Termasuk yang dikritisi Burks adalah peristiwa ambruknya gedung WTC atau dikenal peristiwa 9/11 yang dituduhkan pada Usamah Bin Laden dan jaringan Al-Qaidah.

"Semula saya tak percaya adanya teori konspirasi. Tapi, setelah menyaksikan berbagai kebohongan, rekayasa oleh oknum penguasa elite, mata saya jadi terbuka. Ini harus dibongkar. Makanya, saya bersedia menjadi saksi kasus Ustadz Abu Bakar Ba’asyir," akunya penuh semangat.

Sebelum diundang menjadi saksi di Indonesia, Fred Burks dan jaringannya yang aktif menyuarakan perlunya membongkar berbagai kejadian yang direkayasa elite penguasa Amerika mulai mendapat perhatian publik Amerika. "Saya mulai sering diundang pihak kampus. Atau diwawancarai media setempat," akunya.

Meskipun sebagian besar masyarakat AS diakuinya belum siap menerima pemikiran-pemikiran kelompoknya, mulai muncul media alternatif. "Makanya, sekarang mulai muncul media alternatif di Amerika Serikat yang mulai mencoba membongkar berbagai kejadian rekayasa. Oplahnya pun puluhan ribu, tapi tak pernah diekspos media besar Amerika. Makanya, masyarakat Amerika Serikat tak banyak yang tahu. Terus terang, media di Indonesia lebih kritis," pujinya.

Lalu, apa motivasi Burks yang tiba-tiba bersedia menjadi saksi dalam kasus Ustadz Abu Bakar Ba’asyir yang dituduh sebagai otak jaringan Jamaah Islamiyah (JI) untuk wilayah Asia Tenggara yang kini anggotanya sangat diburu Amerika. Apa pula komentarnya terhadap Direktur Internasional Crisis Group (ICG) Sidney Jones yang punya pandangan berbeda daripada dirinya? Apa pula komentarnya soal bom Bali? Apa pula harapannya terhadap Megawati setelah dirinya memberikan kesaksiannya?

Berikut petikan wawancara dengannya:

Bisa diceritakan kembali, bagaimana suasana pertemuan di rumah Presiden Megawati 16 September 2002 (bukan 18 September 2001) saat itu?

Setelah di sini (Indonesia), saya baru tahu kalau Ibu Mega punya dua rumah. Apakah pertemuan itu dilakukan di rumah Ibu Mega di Jalan Teuku Umar atau Kebagusan, saya tidak tahu. Karena saya hanya lihat satunya. Kalau diajak ke sana, mungkin saya bisa memastikan. Seperti saya ceritakan di pengadilan, pertemuan itu diikuti utusan khusus dari CIA, anggota Dewan Keamanan Nasional Amerika Kareen Brooks, dan Dubes Amerika untuk Indonesia Ralph L. Boyce. Sebagai penerjemahnya, saya sendiri. Pertemuan itu sangat dirahasiakan dan berlangsung cukup singkat. Antara 20 sampai 30 menit.

Apa komentar Megawati setelah utusan khusus Presiden George W. Bush minta Ustadz Abu Bakar Ba’asyir bisa diekstradisi ke Amerika?

Seperti sudah saya jelaskan di persidangan, Ibu Megawati tidak segera menjawab. Setelah menghela napas dalam-dalam, baru Ibu Megawati menjawab. Persisnya kurang lebih begini. "Maaf, saya tidak bisa memenuhi permintaan Anda. Soalnya, kalau dia (Ba’asyir) saya serahkan, orang ini terlalu terkenal, nanti bisa menyulitkan posisi saya," jawab Ibu Megawati.

Bagaimana reaksi utusan khusus Presiden George W. Bush tadi?

Tampaknya, utusan khusus presiden Amerika tadi sedikit kaget atas jawaban Ibu Megawati. Dia pun mendesak kembali secara halus. "Saya bisa mengerti kesulitan yang Anda akan alami. Tapi, perlu Anda tahu, Ba’asyir orang yang berbahaya kalau tidak diserahkan sebelum pertemuan Presiden Amerika-Presiden Megawati. Dari keterangan Omar Al-Farouk (yang ditangkap di Jawa Barat dan diserahkan ke AS, Red), JI yang dipimpin Ba’asyir mencoba membunuh Megawati dua kali. Ba’asyir juga otak pengeboman beberapa gereja di Indonesia saat malam Natal tahun 2000," terang utusan tadi meyakinkan Ibu Mega.

Apa reaksi Ibu Megawati setelah mendengar penjelasan utusan presiden AS tersebut?

Ibu Megawati hanya mendengarkan secara serius, tapi tetap pada pendiriannya. Ibu Megawati juga tidak berusaha bertanya apa bahayanya kalau tidak menyerahkan Ustadz Ba’asyir.

Tapi, kabarnya Ibu Mega sempat menjawab saat utusan presiden AS itu berupaya meyakinkan perlunya ekstradisi Ba’asyir ke AS?

Iya, Ibu Mega memang sempat menjawab singkat, "Kecuali kalau ada opini negatif terhadap dia (Ustadz Abu Bakar Ba’asyir)." Setelah itu, pertemuan ditutup dan selesai.

Sebulan setelah pertemuan utusan presiden AS dengan Presiden Megawati, tepatnya 12 Oktober 2002, meledak bom Bali. Apakah itu berkaitan dengan "kecuali kalau ada opini negatif terhadap Ustadz Ba’asyir" tersebut?

Mau tidak mau, saya harus mengait-ngaitkan. Bisa jadi itu rekayasa oknum elite penguasa AS dengan memanfaatkan orang lokal sebagai pelakunya. Tujuannya, membuat citra Ba’asyir negatif karena disangka sebagai otaknya. Yang jadi pertanyaan besar, mengapa banyak turis Australia yang menjadi korban dalam peristiwa bom Bali? Apalagi, pemerintah dan rakyat Australia sebelum bom Bali kurang mendukung perang terhadap terorisme yang dimotori AS. Tapi, setelah banyak warganya yang jadi korban, seketika pemerintah Australia serta merta mendukung perang terhadap terorisme. Pertanyaannya, siapa yang paling diuntungkan dari meletupnya bom Bali? Di situ kunci jawabannya.

Lalu, bagaimana ceritanya Anda bisa menjadi saksi Ustadz Abu Bakar Ba’asyir?

Sebelum menjadi saksi di persidangan Ustadz Ba’asyir, saya mulai sering diwawancarai media lokal Amerika dan diundang menjadi sumber di beberapa kampus berkaitan dengan aktivitas yang saya lakukan. Yakni, membongkar jaringan elite oknum penguasa atas berbagai rekayasa kejadian di seluruh dunia. Beberapa majalah di Indoneia pun mewawancarai. Setelah itu, saya ditelepon Adnan Wirawan (salah satu pengacara Ustadz Ba’asyir) yang meminta kesediaan saya menjadi saksi di persidangan Ustadz Ba’asyir. Saya setuju, kalau itu perlu.

Apakah Anda tidak takut ancaman dari pemerintah Amerika, misalnya ancaman pembunuhan karena sudah menelanjangi negara Anda?

Saya tidak takut dibunuh. Saya percaya Yang di Atas. Sebagai saksi, saya hanya mengungkapkan apa yang saya tahu, saya yakini itu benar. Apalagi, keterangan yang saya sampaikan saling menguatkan dengan keterangan Pak Syafi’i (Ketua PP Muhammadiyah Prof Ahmad Syafi’i Ma’arif). Saya pun tidak mencari musuh.

Saya juga percaya, masih banyak orang Amerika maupun pejabatnya yang masih baik dan menggunakan hati nurani. Yang saya bongkar adalah jaringan rekayasa elite penguasa Amerika yang banyak membuat kejadian rekayasa di seluruh dunia, termasuk peristiwa 11/9. Saya sadar, itu tidak mudah. Masyarakat Amerika pun banyak yang belum siap untuk membongkar, termasuk medianya.

Tapi, tidak semua orang Amerika berpandangan seperti Anda. Direktur Internasional Crisis Group (ICG) Sidney Jones, misalnya, justru menuduh Ustadz Abu Bakar Ba’asyir adalah pemimpin Jamaah Islamiah (JI) Asia Tenggara. Komentar Anda?

Saya tidak percaya analisis Saudara Sidney Jones. Dia mungkin tidak banyak tahu soal rekayasa oknum elite penguasa Amerika. Apalagi, Sidney berangkat dari aktivitas human rights sebelum memutuskan mendalami penelitian jaringan terorisme. Mungkin sebelum masuk ke Asia Tenggara, Sidney mendapat laporan yang tidak tepat atau keliru dari jaringan intelijen.

Kasarnya, Sidney salah sumber sebelum meneliti soal terorisme. Akhirnya, Sidney mempercayai seperti saat ini. Saya sendiri semula tidak yakin soal adanya konspirasi elite penguasa Amerika untuk membuat berbagai kejadian rekayasa. Tapi, setelah mendengar, tahu dan mengalami sendiri, dan masukan dari bekas anggota FBI, CIA, saya jadi berpikir. Banyak kebohongan yang dilakukan mereka. Jadi, kebohongan itu harus diungkap dan dibongkar. Itu yang saya lakukan sekarang.

No comments:

Post a Comment